Sudakah Indonesia Merdeka?

lebih dari setengah abad Indonesia Merdeka, namun apakah rakyat indonesia sudah sepenuhnya Merdeka? atau merdeka hanya tepat diasumsikan sebagai ujung berakhirnya pertempuran dengan penjajah. Lantas apa arti merdeka jika masih banyak rakyat indonesia duduk dibawah garis kemiskinan.

Siapa yang salah dari semua ini.pantaskah jika kita menyalahkan kinerja pemerintahan?
"...." untuk mengatasi fenomena semacam ini perlu di adaknnya sinergi dari semua lapisan masyarakat. jika semua masyrakat mengetahui bahwa kita semua dapat dan harus bertindak untuk mengatasi kemiskinan. Niscaya fenomena semacam ini akan terkikis dari bumi indonesia.
salah satu solusi untuk ini adalah Mencerdaskan Pikiran anak bangsa. dengan memberikan pendidikan yang baik, mengenalkan mereka tentang pentingnya pendidikan sejak dini. Dan juga memberikan pendidikan mental yang sehat. pendidikan mental yang sehat menjadi amat sangat penting. karena mereka sebagai calon pemimpin bangsa. dengan pemimpin bangsa yang teruji mental sehat akan menciptakan suatu bangsa yang terbebas dari kemiskinan.


Seorang pemimpin yang teruji dengan mental sehat dia lebih mementingkan rakyat dari pada kepentingan dirinya sendiri (tidak KORUPSI).

Menyuap Malaikat

Menyuap Malaikat? Rasanya kok mengada-ada. Tapi fenomena seperti ini banyak kita rasakan dan cukup “ngetrend” di negeri kita. Menjelang Ramdhan Gelombang “simbolis religius” banyak terjadi. Surga dan malaikat, seolah-olah bisa disuap dengan uang dan harta kekayaan mereka.

Meski tak banyak, ada saja kalangan pejabat yang nampak alim ketika pulang kampung. Bersedekah kemana-mana, membantu masjid dan royal pada anak yatim. Sebaliknya, di luar rumah, dia justru di kenal sebagai pejabat paling korup dan suka memarkup dana APBN/APBD.
Ini adalah fenomena nyata di masyarakat. terlihat sopan di kala Ramadhan.
Uang, seolah bisa “menyuap malaikat Rokib”, malaikan pencacat amal ibadah.Inilah adalah fenomena “pragmatisme ibadah”, yang dilematis bagi Muslimin.

Makelar Surga
Para artis dan para koruptor, yang mulutnya sering meletup-letup memproklamirkan diri katanya “cinta agama”, mayoritas –mestik tidak untuk dimaksud tidak semuanya-- mereka adalah para “makelar surga” paling berpengaruh. Di depan publik, ia mempromosikan, bahwa surga adalah “komoditas” yang bisa diraih dengan bermodal materi.

Kalaulah hal itu dianggap ibadah sampingan, tentu tidak masalah. Ironisnya mengesampingkan esensi ibadah kepada Allah SWT. Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut atas dosa-dosanya. Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana duniawi eksis lebih kuat mengalahkan keimanannya.

Faktor utamanya, mereka, umumnya berpikir pragmatis. Bahwa dalam konteks ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa memperdulikan uang halal atau haram. Lebih menggelikan, ada yang berceletuk , "Berbuat demikian itu lebih baik, daripada tidak sama sekali ".

Karena itu, para koruptor tak malu mengeruk duit rakyat, mempublikasikan diri melalui berbagai media massa secara gegap gempita menjadi “santri” dan sopan. Bergagah-gagahan berebut membangun masjid-masjid dan menyantuni para yatim piatu dengan mengundang wartawan.Seolah-olah mereka adalah "teladan beribadah” bagi segenap Muslimin. Ia hanya ingin menunjukkan pada public, sesungguhnya, surga masih bisa dibeli. Fenomena tak menarik seperti ini jelas jauh dari arti ibadah secara syar’i.

Memang surga dan neraka adalah hak progratif Allah SWT. “Dia (Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu." (QS 5:18).

Tapi merupakan kesalahan fatal, bila ada manusia bermaksud "mengaveling surga", hanya dengan mengandalkan seonggok harta. Apalagi, I’tikad dari ibadahnya itu tetap tidak merubah kebiasaan buruk sehari-hari.